JAKARTA, SERLOKMEDAN.COM
Kehebohan terjadi di Sukhumvit Soi 11, Bangkok, saat "perang" antara kelompok waria Thailand dan Filipina meletus pada Selasa pagi. Kejadian tersebut melibatkan sekitar 20 transgender Filipina yang dikepung oleh ratusan massa transgender Thailand di depan sebuah hotel.
Kronologi kejadian dimulai Senin pagi, ketika beberapa oknum transgender Filipina diklaim telah memprovokasi dengan perilaku meresahkan. Provokasi ini mencakup ejekan verbal dan serangan fisik yang memicu kemarahan kelompok transgender Thailand.
"Mereka bahkan terjun ke tengah formasi polisi untuk melanjutkan penyerangan," muat media lokal Bangkok, Khaosodenglish, Rabu (06/03/2024).
Pada pukul 03.30 WIB, situasi mencapai puncaknya ketika transgender Thailand mengepung kelompok Filipina di depan hotel. Polisi yang hadir berusaha menenangkan keributan, namun kekerasan tetap terjadi.
Pada pukul 03.50 WIB, dalam upaya membawa kelompok Filipina keluar dari lokasi, petugas polisi menjadi sasaran serangan dari ratusan massa transgender Thailand yang meneriakkan slogan-slogan nasionalis. Botol dilemparkan, dan bentrokan fisik antara kedua kelompok tak terhindarkan.
Media lokal melaporkan bahwa polisi akhirnya berhasil mengendalikan situasi dan membawa kedua pihak yang terlibat untuk diperiksa di kantor polisi. Sementara penyelidikan masih berlangsung, muncul dugaan bahwa kejadian ini terkait dengan aktivitas transgender Filipina yang mungkin terlibat dalam perdagangan seks.
Profesor Pavin Chachavalpongpun dari Universitas Kyoto mengomentari bahwa insiden ini mencerminkan meningkatnya sentimen nasionalisme di Thailand, yang dapat menimbulkan masalah lebih dalam.
Anggota parlemen Thanyawat Kamonwongwat menekankan perlunya menghukum individu yang terlibat tanpa menggeneralisasi kelompok transgender Filipina. Ia juga menyuarakan keprihatinan terhadap eksploitasi orang asing dalam sektor pekerjaan, yang mungkin berkontribusi pada ketegangan ini.
Melansir CNBC Indonesia, Jumat (08/03/2024), peristiwa ini menjadi sorotan di media sosial Thailand, menciptakan diskusi seputar nasionalisme, identitas regional, dan perlunya hidup berdampingan secara damai di ASEAN. Situasi yang memanas ini menjadi panggilan untuk refleksi lebih dalam terkait perbedaan budaya dan pengelolaan konflik di tengah masyarakat yang semakin terdiversifikasi. (SM)